Sebuah cerita tentang anak-anak kelas VI SDN 019 Longkali yang mendapat
tantangan untuk berperan sebagai “Penyuluh Bencana Cilik”. Kegiatan ini
merupakan salah satu upaya untuk mengemas materi pelajaran IPS menjadi
lebih menarik. Rona semangat terpancar dari wajah mereka. Selain untuk
memenuhi nilai tugas IPS, kegiatan ini juga dapat melatih kepercayaan
diri anak-anak saat berbicara di depan umum. Di ruang kelas berukuran 3 x
3 meter, dua orang siswa secara bergantian menerangkan cara menghadapi
berbagai bencana. Bibir-bibir kecil, disertai senyum gugup mencairkan
suasana, membuatnya menjadi penuh tawa. Ini merupakan kali pertama
anak-anak itu melakukan presentasi di depan kelas.
“Selamat pagi teman-teman, kami adalah Penyuluh Bencana Cilik, hari ini
kami akan menginfokan cara menghadapi gempa bumi”, seru Alisa dan Novi
mengawali pembelajaran. Berbalut seragam merah putih tanpa beralas kaki
mereka merangkai kata, menguras memori yang telah mereka persiapkan
selama seminggu penuh. Alisa merupakan siswa terpintar di kelas, namun
kecerdasan bukanlah jaminan bahwa ia akan lancar menyusun kalimat. Ia
tampak gugup dan menganggukan kepala setiap mengeluarkan kata. Lain
halnya Novi, walaupun ia bukan siswa terpandai di sekolah tapi ia
memiliki percaya diri yang tinggi. Hampir 2 menit dari 5 menit waktu
yang disediakan habis untuk tertawa. Senang sekali melihat mereka
menikmati pelajaran sambil tertawa dan fokus tentunya.
Kini tiba giliran Andrias, siswa yang selalu memiliki energi ganda
untuk membuatku tertawa dan kadang meringis menahan emosi (red:nyebelin).
Ia menjadi penyuluh bencana cilik sendiri karna Rasma memilih untuk
tidak hadir. “Halo, saya penyuluh bencana ci..cilik, saya akan
menjelaskan cara menghadapi Tsu..tsunami...beeh..” katanya
sambil begaya. Semua siswa tertawa, begitupun saya. Dengan terbata-bata
dan diselingi tawa ia berhasil menjelaskan semua informasi dengan
lengkap dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-temannya
dengan benar.
Pasangan-pasangan penyuluh secara bergantian maju ke depan kelas. Aini
dan Badriah, Subli dan Dedi, Eka dan Rika, Dila dan Uni, Aldi dan Sandi
dan akhirnya Rizal dan Rizky menutup penyuluhan bencana cilik.
Masing-masing kelompok memiliki keunikan yang menghasilkan tawa sendiri.
Saya lega, dengan cara ini kami bisa belajar sambil tertawa. Materi
bencana alam pun selesai dalam 3 kali pertemuan. Saya beruntung dan
bangga berada di tengah-tengah anak-anak ini.
Itulah sedikit kenangan yang tersimpan dalam hati saya. Bulan Juli
lalu, mereka telah berhasil menyelesaikan pendidikan dasar. Sebuah
kekhawatiran muncul, akankah mereka semua melanjutkan pendidikan
menengah pertama? Akankah saya bisa melihat Andrias memakai baju putih
dan celana biru? Kekawatiran tersebut muncul bukan tanpa alasan.
Pemikiran yang penting bisa CaLisTung (baca tulis hitung) masih sering
terdengar dikalangan orang tua, setidaknya itulah yang dialami kakak
Andrias. Ketika saya bertanya kepada Andrias, akankah ia melanjutkan
pendidikannya ia menjawab “Lanjuut donk buu! Hari gini ga sekolah?
Beeehhhh....” serunya sambil dengan gaya khasnya.
Ya, hari demi hari ku jumpai Alisa, Novi, Andrias dan nama-nama yang
telah disebutkan tadi dalam balutan seragam putih biru. Rasa syukur
bahwa semua siswa melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP tertuang dalam
satu senyuman dan doa syukur. Kiranya kehadiran pengajar muda selama
tiga tahun di desa ini telah memberikan dampak positif. Angka siswa yang
melanjutkan pendidikannya kini bertambah. Semoga setiap tahunnya semua
anak dapat melanjutkan sekolah hingga mencapai apa yang dicitakannya.
Sumber: Indonesia Mengajar
No comments:
Post a Comment